Seringkali orang mengkritik sebuah karya berdasarkan standarnya sendiri, ukurannya sendiri. Misalnya, ia melihat ada sebuah dunia yang sangat berbeda dari filosofinya, maka kemudian ia mengatakan hal itu jelek.
Sungguh menggelikan lagi adalah bila si pengkritik itu begitu tajam mengkritik karya seorang novelis yang tidak dikenalnya sama sekali. Namun ketika ada novelis yang merupakan teman baiknya mengeluarkan sebuah buku dan sama kualitasnya dengan karya yang satu tadi, si pengkritik ini tidak setajam yang sebelumnya.
Seorang pengkritik memang harus memiliki pengetahuan luas. Namun satu kelemahan dari mereka yang berpengetahuan luas adalah : kesombongan. Merasa tahu banyak, lantas karena dalam sebuah cerita tidak sesuai dengan standarnya, lalu ia mulai kehilangan respek terhadap cerita tersebut dan saat itulah apapun yang terasa janggal sedikit akan langsung menjadi jelek.
Yah, namanya juga penilaian. Dan manusia memang seorang makhluk emosional.
Tapi ada juga yang kutemukan, seseorang mengkritik sengaja untuk menguji mental orang yang dikritik, untuk mencari-cari kesalahan sebagai teguran halus untuk orang yang dikritiknya bahwa ia masih banyak memiliki kekurangan, maka dari itu jangan sombong dulu, nih aku buktikan bahwa kamu tidak sebaik yang kau pikir. Dan masih banyak lagi yang lainnya.
Melihat pendapat-pendapat pribadi para pengkritik itu membuatku berpikir, lantas kritik yang enak itu seperti apa?
Mari menilik kembali dari dasar kata "kritik".
Kritik sejatinya adalah sebuah opini, pendapat, yang secara teknis membuatnya memiliki sifat subjektif. Kritik adalah sebuah pendapat yang melihat sebuah permasalahan sesuai dengan pengetahuan dan kebijaksanaan yang dimiliki seseorang berhubungan dengan penilaiannya terhadap sebuah perkara. Kritik biasanya bersifat teguran, maka dari itu kritik seharusnya bersifat membangun.
Karena kritik berawal dari penilaian subjektif seseorang berdasarkan pengetahuan dan kebijaksanaan mereka pribadi, maka sebuah kritik terkadang menjadi bersifat "aku dan duniaku". Sebuah jenis kritik yang pada dasarnya menstandarkan apa yang ia terima sesuai dengan filosofi dia sendiri. Kritik seperti ini biasanya disebabkan oleh karena keinginan seseorang untuk mencari kesalahan target, opini pribadi yang terlalu ditunjukkan secara bebas, atau ada sebuah ketidak tahuan seesorang mengenai sesuatu yang membuatnya secara tidak sadar terdengar seperti sedang memaksakan pendapat pribadi.
Kita tidak usah membicarakan kritik yang disebabkan oleh karena keinginan seseorang untuk mencari-cari kesalahan target. Biasanya orang sudah bisa mengerti sendiri apa yang kira-kira sedang terjadi.
Saya lebih tertarik untuk membicarakan kemungkinan-kemungkinan lainya, pertama, "opini pribadi yang terlalu ditunjukkan secara bebas".
Memangnya salah memiliki opini pribadi?
Tidak salah, tidak ada yang salah dalam berpendapat. Lagipula negara Indonesia sendiripun adalah negara demokrasi. Yang akan kupermasalahkan adalah soal opini pribadi yang dikemukakan terlalu bebas sehingga ia malah jadi melenceng dari tujuan asalnya : mengkritik.
Misalnya seseorang melihat sebuah tulisan yang tidak menarik minatnya, lantas kemudian ia menjelek-jelekkan karya itu.
"Ini kok ga ada si ini sih?"
"kok si itu ga muncul?"
"harusnya kaya begini nih..."
"ini salah, ga mungkin ini kaya gini."
"kok ga ada meriam?"
Kadang terpikir oleh saya, mereka ini sebenarnya sedang mengkritik atau sedang ingin mengadopsi cerita yang bersangkutan menjadi ceritanya sendiri?
Bila kelak anda menerima kritik seperti ini, balasannya sangat simpel sebenarnya; "emangnya ga bole?"
Namun harap hati-hati dan kritik ini masih tetap layak untuk dipertimbangkan. Kalau memang masuk di akal, dan merupakan sesuatu yang terlewat dari perhatian kita, sebaiknya diterima saja. Tapi kalau hal yang dikritik itu adalah hal yang memang kita sengaja dan kita sadari, dan setelah dipikir-pikir kembali bahwa cerita yang kau angkat memang tidak salah tanpa adegan yang diusulkan si pengkritik, kau berhak membalas : "emangnya ga bole?"
Adapun kritik terparah adalah kritik yang didasari dari kesimpulan yang terlalu cepat dan penyelidikan yang kurang matang.
Misalnya menilik sebuah kejadian pemberontakan para bangsawan yang berkemah untuk menyerbu ibukota. Kemudian seseorang memberi asumsi buruk karena kata "pemberontakan" bersifat jelek, dan sudut pandang simpatinya berada di pihak kaisar. Maka orang itu akan menganggap bahwa yang dilakukan Yuan Shao, Sun Jian, Liu Bei dan Cao Cao itu adalah kesalahan besar dan sebuah dosa berat karena mereka bermaksud menggulingkan Dong Zhuo.
Padahal kita semua tahu bahwa Dong Zhuo adalah seorang tiran.
---------------------------
Tempo hari lalu saya mengemukakan pendapat bahwa "Pengalaman adalah riset terbaik untuk karya tulis".
Tentu saja orang-orang kemudian berusaha menyanggahnya dengan mengatakan "gak perlu lah, masa kita mau bikin cerita cewek diperkosa lalu kita harus ngerasain diperkosa??"
Entah bermaksud skeptis atau terlalu cepat menyimpulkan?
Maksud dari pernyataan itu adalah :
Seseorang yang menuliskan sesuatu yang pernah ia alami secara nyata, pasti bisa meraskan tension yang ia rasakan saat merasakan kejadian itu. Ia dapat menggambarkan dengan detail apa yang terjadi, maupun secara puitis.
Saat saya membaca prolog dari Silver Phoenix, saya terkesan dengan cara Cindy Pon mendeskripsikan adegan melahirkan. Biasanya orang mendeskripsikan adegan itu dari sudut pandang orang ketiga. Namun Cindy Pon mendeksripsikannya berdasarkan apa yang dirasakan sang selir secara emosional dan tense. Sungguh deskripsi yang begitu mengagumkan karena beberapa kata membuat saya merasa seperti sedang melahirkan.
Dari sana saya menilai bahwa Cindy Pon pasti sudah pernah melahirkan. Dan setelah kubaca biografinya, ternyata ia memang sudah memiliki dua orang anak. Cindy Pon bisa menggambarkan deskripsi melahirkan secara emosional dan berhasil menerapkan tension di dalamnya, karena ia sudah pernah melahirkan dan tahu apa yang ia alami.
Bukan berarti saya mengatakan bahwa kita harus melahirkan dulu sebelum menulis adegan melahirkan. Semoga anda tidak berpikir sebodoh itu. Yang hendak saya sampaikan adalah, sebuah kelebihan yang dimiliki seorang penulis yang menulis kejadian karena sebuah pengalaman nyata dibandingkan penulis yang sama sekali belum pernah merasakannya secara pribadi.
Sama-sama bisa tertulis dengan baik, namun harusnya ada nilai lebih dari yang ditulis seorang penulis empiris.
Ini juga pernah berlaku ketika saya menuliskan sebuah cerita tentang seorang pemuda dipukuli hingga babak belur di tengah kerumunan para sipil yang sedang menggenggam perkakas tani mereka sebagai senjata.
Bisa ditebak, kritik yang saya dapat adalah, "kok pada gak nolongin sih!?"
Anda setuju dengannya?
Secara ideal dan logika, memang seharusnya bersatu kita kuat bercerai kita runtuh. Namun pada penerapannya, kadang kita harus membuka kemungkinan juga bahwa masyarakat yang mengelilingi kita tidak semuanya berjiwa pahlawan dan pemberani. Bahkan sesungguhnya orang berani di lingkungan kita ini sangat sedikit. Satu banding berapa puluh.
Anda sendiri bila melihat ada orang dirampok, apakah anda mau menolong orang itu, sekalipun anda sedang bersama katakan 10 orang teman anda yang badannya tinggi besar?
Saya yakin anda berusaha untuk tidak memperhatikan agar para preman itu tidak menghampiri anda. Mungkin suasana di sekitar kalian akan menjadi hening mendadak sebagai wujud simpati terhadap orang malang yang dirampok itu. Inilah kenyataannya. Orang baru akan melawan bila ia atau temannya terancam. Tidak ada waktu untuk mengurusi orang asing. Setiap orang tidak mau menambah masalahnya sendiri. Hal ini yang kadang terlewat oleh para kritikus, bisa diakibatkan oleh karena kurangnya pengalaman nyata.
Saya sendiri mengalami langsung sebagai korban perampokan di sebuah bus. Leher saya dicekik, sebuah pisau buah murahan menodong perut saya, orang itu mencabut tas pinggang saya yang isinya hanya kertas-kertas bon dan uang sebesar 50 rupiah.
Disekitar saya ada sekitar 10 orang bapak-bapak dan beberapa ibu-ibu. Mereka semua melarikan diri ke dekat supir sambil menonton saya seperti menonton televisi. Dan parahnya, mereka terlihat bersyukur bahwa yang mengalami itu bukan mereka. Sama sekali tidak ada harapan seseorang melakukan sesuatu untuk saya.
Dan setelah para rampok itu pergi, dengan dahi bercucuran darah kental yang mengucur deras masuk ke dalam bibir saya, saya duduk ke depan dan mengadu pada mereka, "Kok ga pada nolongin sih?"
Pertanyaan yang sama dengan pertanyaan si kritikus, bukan?
Tahu apa jawaban mereka?
Seorang pemuda tegap, sehat dan bertubuh tinggi besar balik memarahi saya, "lo gila ya!? kalo gue nolongin lu gue yang celaka!"
=====================================
Hohoho, Sang Musafirpun merasakan susahnya jadi kritikus yg seobyektif mungkin. Udah coba common sense dan cara positif, making bad things look good, tapi toh taste-ku sendiri tetap aja nyelip.
ReplyDeleteSo, mengkritik pengkritik kritikus, saia hanya bilang, "Kritikus juga manusia".
Next time g kemana2 jangan2 g harus bawa tweezer/pisau sendiri. Karatepun g gak bisa... T_T yah the point is, u gotta look into the whole thing.