Cerpen untuk lomba Fantasy Fiesta 2011. Buat yang mau ikutan, bisa cek ... http://kastilfantasi.com/2011/04/pengumuman-fantasy-fiesta-2011-dimulai/
Malam itu … dingin mencekam, angin bertiup kencang, dedaunan berguguran menghiasi sepinya suasana yang temaram diterangi cahaya rembulan yang penuh… Sebenarnya biasa-biasa saja sih. Aku hanya ingin mendramatisir suasana saja, biar kedengaran seru.
Yang jelas, kini dihadapanku telah berdiri seekor makhluk raksasa yang disebut Buta. Buta ini menyerangku dengan beringas, berusaha untuk menangkap tubuhku dan melumatkan tulangku hingga hancur. Seperti saat ini … lihatlah, mendadak dia sudah berbalik sambil menyerangku. Untung aku cepat menghindari serangannya sebelum nasibku menjadi sama seperti batang pohon yang baru saja ditumbangkannya.
Setelah beberapa saat, aku merasa sudah cukup menilai dan mulai menyerangnya. Aku merogoh tas pinggangku dan memasukkan Fire Quartz, sebuah kristal magitech ke sebuah lubang di dalam pedangku. Tak lama kemudian, pedangku mengeluarkan cahaya berwarna merah seperti mengandung kekuatan api.
Tiga-empat kali serang, aku sudah tahu bahwa Buta bringasan ini memiliki refleks yang kurang bagus. Bodoh sekali Emelinda, memanggil Buta seperti ini untuk menghadapiku. Apakah dia sudah kekurangan spawn? Tidak butuh beberapa ronde untuk menakhlukkannya, sebentar saja aku sudah berhasil menghunus jantungnya dan membuat tubuhnya hangus.
Selesai.
“Jangan senang dulu, Paquita! Itu tadi hanya untuk melihat kemampuanmu saja!”
“Kenapa kau selalu mengukur kemampuanku? Aku sendiri hanya butuh waktu 3 menit untuk mengukur kemampuan Buta-Butamu yang tidak becus itu.” Tak lupa kusunggingkan senyum culas agar dia semakin kesal dan marah.
“Dasar orang miskin tidak berpendidikan! Monyet! Babi …”
Bla, bla, bla … tidak perlu tahu apa yang ia bicarakan. Bila Emelinda marah, ia akan berusaha menyerang perasaan orang yang dimarahinya. Kami sudah saling kenal selama 3 tahun, sejak aku masuk ke Akademi. Dan seiring pergumulanku di Akademi, rivalitasku bersama Emelinda pun dimulai. Pasti ada saja hal yang membuat kami bertengkar.
“Ah, sudahlah, aku ngantuk. Lain kali keluarkan saja Golem untuk menghadapiku, atau … kau tidak bisa mengendalikan Golem? Haha …dasar bodoh. Selamat tinggal.”
Dengan angkuh aku meninggalkan Emelinda yang pastinya tertohok batinnya oleh ucapanku. Heran, selalu saja mencari gara-gara, padahal orangtuanya kaya raya, otaknya cukup cerdas, dan sebenarnya banyak pria yang memperhatikan dia di Akademi. Aku sendiri tidak merasa lebih hebat darinya, tapi dia selalu saja…
Kini aku telah sampai di rumahku yang kecil dan indah. Ya, kecil dan indah … sebelum terkontaminasi oleh parasit ini …
Sejak 3 hari lalu, saat aku membuka pintu kamarku, aku merasa sumpek karena harus melihat seorang pemuda yang bisa tahan tidak mandi dua hari, selengekan, dan tidur begitu saja setelah pulang bekerja.
Kali ini, dia pulang dengan sepatu yang berbau busuk seperti baru menginjak tahi. Aku langsung menarik daun telinganya hingga ia terbangun. “Aiz…aduh…!”
Wajah galaknya langsung memudar saat melihatku. “Oh … kamu.”
“Galeno! Bau apa ini sekarang?!”
Galeno mencopot sepatunya. “Maaf, aku berencana membersihkannya setelah bangun tidur.”
“Rencana-rencana terus! Kalau mau tinggal di sini kau harus ikut aturanku; harus rapih!!”
Galeno segera bergerak membersihkan tempat ini. Ia mengeluarkan sepatunya yang kotor lalu membersihkan lantai rumahku yang belepotan tahi hewan.
“Kerja apa kau?”
“Hanya mengantarkan muatan sampai ke kota seberang. Di tengah jalan pedati terpersosok ke dalam lumpur. Kaki kami tidak sengaja menginjak tahi kerbau.” Katanya dengan suara tidak jelas, lebih tepat seperti sedang berkumur. Ia selalu begitu, bicaranya tidak jelas dan tidak berani menatapku.
Ada rasa sesal juga melihat dia menjadi tidak nyaman didekatku, tapi menurutku dia harus diperlakukan tegas. Aku kenal Galeno sejak kecil. Ia tinggal berdua dengan ayahnya sebelum sang ayah meninggal karena TBC 7 tahun lalu. Sejak itu ia bekerja sebagai seorang Bounty Hunter. Bisa dibilang, ia tumbuh besar tanpa sentuhan wanita dan ayah yang super cuek.
Tiga hari lalu, Galeno melakukan kecerobohan sehingga membuat rumahnya terlalap api dan seluruh harta bendanya hangus terbakar. Aku yang pertama tiba di dekatnya dan merasa iba lalu mengajaknya tinggal di rumahku. Untunglah para tetangga sudah tahu bahwa kami sudah seperti saudara sehingga tidak ada yang menggosipkan macam-macam.
Saat ini ia sedang menabung untuk membuat rumah baru. Dan aku memiliki misi khusus untuknya; saat ia keluar dari rumahku, ia harus sudah berubah menjadi orang yang lebih berani, lebih terorganisir dan lebih teratur!
Di lain waktu, ketika aku dan Galeno sedang berjalan-jalan, kami melihat orang kaya memberi sedekah pada seorang bocah miskin yang kurus dan dekil. Aku senang melihatnya. “Ternyata di dunia ini masih ada orang yang dermawan…”
Galeno hanya berkata dengan nada suara datar. “Kasihan, dia ditipu anak kecil.”
“Hah? Bagaimana bisa?”
“Setelah menarik simpati dari orang baik, ia akan membeli mainan atau baju yang lebih bagus dari pemberi sedekahnya sendiri.”
Inilah yang tidak kusukai dari Galeno. Ia selalu berpikir negatif mengenai hal-hal di sekitarnya. “Jelek sekali pikiranmu itu, Galeno! Di dunia ini ada orang yang lahir beruntung dan lahir tidak beruntung, kau harus memperlakukan orang lain dengan penuh kasih sayang dan simpatik, bukannya penuh curiga dan pikiran buruk seperti itu!”
Aku terus memberikannya nasihat berguna agar ia bisa berubah. Dalam hatiku, aku maklum, dia kan tidak berpendidikan, setiap hari hanya tinggal di jalanan. Barangkali itu yang membuatnya terbelakang.
“Maaf, aku tidak bermaksud membuatmu tersinggung.”
Jadi semua perkataanku itu diterimanya sebagai amarah? Ternyata orang ini memang tidak ada keinginan untuk maju, tidak bisa menerima pendapat orang lain! “Aku tidak marah, hanya ingin kau berpikir optimis sekali saja.”
Wajah Galeno terlihat susah, kemudian ia pergi membeli sepotong roti murah dan diberikannya pada seorang pengemis tua yang sedang kelaparan di tepi jalan.
Ketika aku tiba di kelas dan melanjutkan penelitianku terhadap magitech, aku kembali teringat akan Emelinda. Aku begitu ceroboh menyebutkan Golem, padahal tidak tahu banyak tentang itu. Mendadak aku merasa khawatir. Bagaimana bila Emelinda sinting itu benar-benar menggunakan Golem?
Akhirnya aku menghampiri seorang lelaki tampan yang sedang asik memperbaiki sebuah kristal Quartz yang retak. Ketika menyadari kedatanganku, ia langsung tersenyum manis. “Hai, Paquita. Kemana saja kau beberapa hari ini? Sibuk bereksperimen?”
“Kok tahu? Aku sedang mempelajari Golem, apakah kau bisa membantuku?” Kataku langsung pada topik permasalahan. Pax cukup diplomatis dalam memahami rasa penasaranku.
“Quartz biasa hanya dapat menyimpan Force sebagai sumber energi. Tapi belakangan ditemukan Quartz generasi baru yang jauh lebih canggih. Quartz ini mampu menyimpan energi kehidupan sehingga bila telah terisi, akan terlihat cahaya yang bersinar dan meredup, seperti detak jantung manusia.”
Aku sudah tahu apa yang ia bicarakan. “Life-Quartz … atau Core, kan?”
“Ya, benar. Nah, rumus penciptaannya adalah emosi, insepsi dan life-force. Mari kubagi sedikit rahasia.” Ia mendekatkan bibirnya ke telingaku dan mulai berbisik-bisik. “Belum ada yang tahu cara mengembalikan makhluk hidup yang telah diubah menjadi Golem, jadi sebaiknya jangan bermain-main dengan Golem dulu.”
Kemudian ia menarik kembali wajahnya. “Tapi, aku percaya kau menanyakan hal ini demi kemajuan sains.”
Perbincangan dengan Pax sangat menarik, tanpa terasa hari sudah sore dan saatnya aku pulang. Seperti biasa, emosiku meluap ketika aku melihat keadaan yang berantakan dan Galeno tertidur pulas dengan enaknya di atas kasurku.
“Bangun! Dasar pemalas! Cari kerjaan sana! Sudah berapa hari kau menganggur di sini?!” kuakui aku sedikit kasar sehingga membuatnya terbangun seketika.
Galeno seperti hendak mengatakan sesuatu, tapi tidak ia ungkapkan sekalipun aku sudah menunggunya untuk bicara. Lama kelamaan sikap kikuknya ini membuatku menjadi kesal. “Mau bilang apa kau?! Bicara saja susah sekali?”
Galeno akhirnya keluar dari rumahku antara seperti sedang ketakutan atau hendak menghindari diriku yang sedang emosi.
Ketika aku merapihkan kasurku yang ditiduri Galeno, aku terkejut melihat ada bercak darah tercecer di kasurku. Mendadak rasa bersalah yang begitu besar pada Galeno meliputiku dan aku segera pergi mencarinya. Ia pasti sedang terluka, barangkali habis berkelahi, atau membasmi segerombolan hewan buas yang meresahkan masyarakat di tepi hutan.
Kenapa aku begitu cepat marah padanya?
Ketika aku tiba di sebuah sudut gang kumuh, aku melihat anak kecil yang tempo hari lalu diberi sedekah oleh orang kaya yang dermawan. Anak kecil itu sedang tertawa-tawa bersama temannya sambil menghitung pemasukannya yang tidak sedikit jumlahnya.
“Mengemis sedikit lagi aku sudah bisa beli mainan baru.”
Mendengar itu, aku merasa malu sendiri karena terlalu meremehkan ucapan Galeno dan menganggapnya tidak tahu apa-apa. Hanya karena ia suka mendengarkanku bicara, lantas aku merasa lebih pintar darinya dan tidak menghargai opini-opininya?
Ketika malam tiba, aku memutuskan untuk kembali ke rumah dan mendapati rumahku dalam keadaan rapih, bersih … dan barang-barang Galeno tidak ada di dalam rumahku. Di atas meja belajarku, aku menemukan sekantung uang dalam jumlah cukup banyak dan secarik kertas.
Intinya, dia meminta maaf karena selalu membuatku marah dan tidak mau menggangguku lagi.
Tidak ada yang tersisa dari Galeno. Aku duduk di depan pintu, berharap Galeno kembali. Aku tidak pernah perduli dimana dia bekerja atau dimana teman-temannya tinggal. Aku tidak bisa mencarinya. Ia benar-benar hilang dan aku merindukannya.
Keesokan harinya, setelah petang berganti malam, aku menerima sebuah surat kaleng.
“Kalau berani ayo kita berduel lagi! Kali ini kau pasti mati!” demikian isinya.
Selalu seperti itu setiap kali ia menulis surat. Sesungguhnya aku sedang malas sekali meladeninya, maka aku tidak datang. Aku hanya ingin Galeno kembali.
Dan pada keesokan harinya pada waktu yang sama, surat itu datang lagi. Kali ini ada variasi sedikit hingga aku tidak bosan membacanya.
“Galeno ada padaku! Kalau kau tidak muncul, aku akan membunuhnya!”
Ceroboh sekali Galeno! Apakah dia selemah itu sehingga pada Necromancer bodoh seperti Emelinda saja bisa tertangkap? Tapi sebodoh apapun Galeno, aku akan menyelamatkannya.
Ketika kami sudah berhadap-hadapan di padang yang selalu menjadi tempat duel kami, aku segera meluapkan kemarahanku pada Emelinda. “Kembalikan Galeno!”
Emelinda muncul dengan Buta yang menggendong Galeno. Buta itu menjatuhkan Galeno yang sedang dalam keadaan tak sadarkan diri ke atas rumput. “Orang ini begitu berarti bagimu yah?”
Mataku terbelalak saat melihat Emelinda mengeluarkan sebuah kristal Quartz yang berbentuk solid dan pekat, sinarnya meredup dan bercahaya secara berirama seperti detak jantung. Itu adalah Core!
“Emelinda…apa yang akan kau lakukan?”
“Kau pikir Necromancer tidak tahu cara membuat Golem? Aku hanya sedang mencari satu orang saja yang cukup dekat bagimu, dan ternyata pria ini kelemahanmu.” Kata Emelinda dengan senyum penuh kemenangan.
“Emelinda, jangan,…” Aku tidak percaya aku membuang pedangku dan berlutut dengan mata berkaca-kaca sambil memohon padanya. “…ambil apapun dariku asal jangan lakukan itu…belum ada yang tahu cara mengembalikan Golem menjadi manusia biasa.”
Air mataku terjatuh. “Aku tidak mau membunuhnya.”
“Kalau kau tidak mau membunuhnya, biarkan saja dia membunuhmu.” Kata Emelinda sambil menempelkan Core ke atas punggung Galeno yang sudah dilukis sebuah simbol yang hanya dimengerti oleh para Necromancer.
Saat Core itu bersinkronisasi dengan Galeno, tubuhnya perlahan berevolusi menjadi sesosok monster humanoid. Kulitnya mengeras, ototnya menebal, tulangnya memanjang dan membesar. Wajahnya berubah menjadi wajah Golem batu. Pada dadanya, kulihat Core itu bersarang dengan nyaman, bersinar seperti jantung yang berdetak.
Ketika perubahan wujud itu usai, Golem Galeno menghantamkan kedua lengannya yang besar seperti gorila itu ke atas tanah. Menimbulkan bunyi hantaman yang cukup keras sehingga menghancurkan tanah yang ditinjunya.
Kemudian, Emelinda menanam insepsi pada Golem. “Rock Golem! Bunuh gadis itu!”
Golem Galeno menyerangku seperti tidak pernah mengenalku. Ia sungguh-sungguh menyerangku dengan kekuatan penuh, dan itu membuatku sedih. Dalam serangan Golem yang bertubi-tubi ini, aku mulai menyadari bahwa selama ini, Galeno begitu sabar dan tegar menghadapiku. Ia sama sekali tidak pernah menyakitiku.
Sambil berharap emosiku mencapai emosinya, aku berusaha menggapai jati dirinya “Galeno, ini aku!!”
Aku merasa semakin terancam karena serangan-serangannya semakin berbahaya, akhirnya aku tergelincir dan Golem Galeno akan menghancurkanku dengan tangannya yang besar. Namun mendadak hempasan angin yang sangat kuat menghantam Golem Galeno sehingga ia berhenti bergerak dan menoleh kepada si pengganggu.
Ternyata itu Pax!
Pax segera mengeluarkan Quartz lain, kelihatannya Soil Quartz. Kemudian ia berseru “Crack!”
Golem Galeno terperosok ke dalam tanah dan terjebak di sana. Sementara ia sibuk berusaha mengeluarkan tubuhnya, Pax menghampiriku. “Kau tidak apa-apa, Paquita?”
Aku memeluk Pax penuh rasa frustasi dan putus asa. “Tolong Galeno, aku ingin dia kembali…!”
Pax bersimpati padaku, ia menegur Emelinda. “Ternyata kau Necromancer? Sudah kuduga kau mempelajari ilmu terlarang itu. Apakah kau sadar apa yang telah kau lakukan ini, Emelinda!?”
“A, aku … aku tidak tahu…” Emelinda kabur melarikan diri dari sana, diikuti Buta yang senantiasa melindunginya.
“Hei!! Jangan lari!! Emelinda!!” seruku sambil mulai mengejarnya. Namun Pax menahan lariku dan menatap Golem yang setengah tubuhnya masih terjepit di dalam tanah dan berusaha keluar.
“Paquita … kita harus membunuhnya.”
“Apa?! Tidak! Tidak adakah cara lain?”
Pax terlihat pesimis.
“Katamu Golem tercipta dari penggabungan force, insepsi dan emosi kan? Bila kita memisahkan itu semua, kita pasti bisa menyelamatkannya, kan?”
“Paquita … yang bisa membuat Golem itu menolak insepsi yang ditanamkan padanya hanyalah Golem itu sendiri.”
Ucapan itu membuatku lemas. Aku tidak mau membunuh Galeno. Tapi dilema ini sungguh menyesakkan. Maka aku membentak marah pada Galeno … lagi. “Dasar bodoh!! Kenapa kau selalu membuatku susah!?”
Entah kenapa suasana menjadi begitu tenang. Ketika aku menatap Galeno, ia terlihat seperti sedang kebingungan menatapku. Dan ekspresi wajah golem itu membuatku merasa seperti baru saja melihat secercah harapan.
“Paquita?” tanya Golem Galeno dengan pelan. Seperti biasa, ia tidak bisa bicara dengan lantang dan bebas padaku. Bahkan ketika wujudnya sudah menjadi Golem sangar pun ia masih penakut seperti itu.
“Apa yang terjadi? Aku merasa sedikit aneh dan berat…” tanya Galeno.
Wajah Galeno kini lima kali lebih besar dari wajah aslinya, dan aku menyentuhnya lembut dengan kedua tanganku. Kulit Galeno benar-benar sudah berubah menjadi batu yang sangat keras. Ia menjadi seperti ini gara-gara aku!
Raut wajah Golem Galeno itu terlihat sedikit sedih dan golem itu mengangkat tangannya. Jari telunjuknya yang sebesar tongkat bambu itu mengusap air mataku dengan lembut. Bahkan setelah ia menjadi monsterpun, ia tetap tidak menyakitiku, … bila dalam keadaan sadar.
Ia terkejut melihat jarinya sendiri dan akhirnya tersadar. “Aku … Golem?”
“Maafkan aku…” kataku dengan lirih.
Galeno tidak berbicara apapun, tapi aku tahu ia merasa marah.
Mendadak seekor Harpy menyerang kami dari udara. Ketika Harpy itu melesatkan bulu-bulunya yang tajam menyerupai panah, Galeno segera menarikku dan melindungiku dari serangan panah Harpy-Harpy tersebut mengorbankan punggungnya.
Galeno mencabut pohon yang tumbuh di belakangnya dan melemparnya menghantam Harpy tersebut dengan kuat sehingga musnah.
“Musnah…. Mirip dengan makhluk Necromancer.” gumam Pax.
Galeno mengambil sebongkah batu besar dan melemparnya dengan cepat menghantam Harpy yang lain. Harpy itu juga musnah.
Setelah para Harpy itu musnah, muncullah monster humanoid yang wajahnya menyerupai babi hutan dengan otot tebal dan keras, membawa pedang besar. Kulitnya berwarna hijau dan bergerak seperti manusia. Orc.
Pax menghempaskan segulung udara untuk menghempaskan Orc tersebut, namun Orc itu membelah serangan udara itu begitu saja dan tertawa seperti orang batuk. Galeno menggali tanah yang menjebaknya hingga berhasil mengangkat tubuhnya keluar. Setelah itu ia menerjang Orc itu. Tubuh mereka nyaris sama besar. Dan pedang Orc yang besar itu tidak mampu memberi luka berarti bagi kulit Galeno yang keras bagaikan batu.
Sementara dua makhluk humanoid itu berduel, Emelinda tertawa di atas sebuah bukit tak jauh dari sini. “Paquita, kau tamat malam ini!”
“Emelinda! Kau bagianku!” kataku sambil menghunus pedangku.
“Sori, aku tidak bertarung seperti wanita bar-bar.” Emelinda mengangkat tangannya dan sebatang pohon beringin disebelahnya berubah menjadi Treant. “Sudah kubilang, aku hanya mengukur kemampuanmu, bukan? Kali ini rasakan kekuatanku yang sesungguhnya!”
Treant itu menyerangku dengan sulur-sulurnya. Pax membantuku dengan menyemburkan api dari Fire Quartz di tangannya. Namun Treant itu menjerat kaki Pax dan menelannya.
“Tidak!! Pax…!!” Emelinda histeris.
Emelinda merasa serba salah. Inilah yang membuatku mengatai Emelinda sebagai Necromancer bodoh; ia tidak tahu cara mengendalikan spawn-nya sendiri. Kejadian ini membuatku sadar kenapa Necromancer menjadi ilmu terlarang. Ilmu ini bermain dengan nyawa.
Aku merasa cukup kewalahan meladeni serangan-serangan sulur-sulur Treant itu dan sebuah serangan dari salah satu sulur Treant menusuk kakiku cukup parah hingga membuatku tidak sanggup berdiri.
Ketika Treant itu akan menusukkan sulur-sulur lainnya ke tubuhku, sesosok Orc terbang menghantamnya sehingga menyelamatkan nyawaku. Detik berikutnya Galeno sudah berdiri diantara aku dan Treant.
“Galeno! Pax terjebak di dalam Treant!”
“Aku tahu.”
“Orc itu masih hidup.” Kataku lagi dengan khawatir.
“Aku tahu.” jawabnya lagi dengan tenang.
“Bagaimana ini?”
“Tenang saja.”
Kali ini, untuk pertama kalinya aku melihat Galeno sebagai lelaki dewasa yang tahu apa yang ia lakukan. Ia bahkan melawan Treant dan Orc itu sekaligus tanpa gentar. Ia membiarkan tubuhnya dijerat sulur-sulur Treant dan memanfaatkan serangan Orc yang menggunakan pedang besar itu untuk mematahkan sulur-sulur tersebut.
Setelah terbebas, ia segera bergulat dengan Orc itu dan melemparnya jauh ke belakangku. Kemudian ia membuka paksa mulut Treant itu hingga terbelah menjadi dua bagian dan mengeluarkan Pax yang tidak sadarkan diri.
Namun Orc tadi kini telah berdiri di belakangku dengan pedangnya yang besar terayun siap membelah tubuhku. Ayunan itu sangat kuat sehingga ketika tangan kiri Galeno yang muncul untuk melindungiku dari serangan itu terbelah. Pedang itu pun terbelah menjadi dua bagian.
“Galeno! Tanganmu!”
Orc itu akan menyerang lagi. Aku mencoba berdiri namun kakiku tidak mau bekerja sama. Galeno menahan serangan yang datang dan sementara mereka saling beradu, Orc itu menyeringai, mencabut belati dari pinggangnya dan menghujamkannya ke mata kanan Galeno.
Galeno berteriak kesakitan sementara Orc itu melangkah mundur. Ketika Orc itu menyerang lagi, Galeno sudah mencabut belati di matanya dan menusukkannya menembus kerongkongan Orc. Membuat Orc itu menghilang tanpa bekas.
Tak lama kemudian, terjadi sesuatu pada tubuh Golem Galeno.
Perlahan Core nya bersinar semakin terang dan keluar dari tubuhnya. Core itu terjatuh ke atas rumput, menggelundung dengan sinar yang masih berkedip-kedip. Galeno akhirnya kembali ke tubuh asalnya dalam keadaan tidak sadarkan diri.
Pax membawanya ke klinik dimana pendarahan yang dialami tangan kiri dan mata kanannya dirawat. Aku dan Emelinda menyadari kebodohan kami selama ini dan memutuskan untuk berdamai. Kami mulai belajar saling menghargai satu sama lain. Siapa sangka? Ternyata kami justru sangat cocok sebagai sahabat!
Ketika aku sedang menunggui Galeno di klinik, teman-temannya datang menjenguk.
“Kudengar dia menjadi Golem kemarin. Bagaimana dia bisa menjadi manusia lagi?” tanya Sir Kristoff padaku.
“Insepsi…” jawabku. “Ketika sesuatu diubah menjadi Golem, Insepsi adalah perekat antara energi kehidupan dan Force yang terkandung dalam Core. Ketika Insepsi itu gagal total, inang akan menolak Core..”
“Galeno, setelah kau sembuh, datanglah ke bar, kita rayakan keajaiban itu sampai mabuk!” Kata Jack. Galeno hanya menjawab dengan hembusan nafas.
“Wah … kalem sekali kau? …aneh.”
Aku segera menegurnya dengan galak. “Mabuk-mabukan di Bar?!”
“Memangnya anda tidak tahu, nona? Dia ini tukang cari ribut! Selain itu dia juga hidung belang, terutama bila sudah mabuk. Dia benar-benar nakal!” kata Jack, tidak tanggung-tanggung.
Galeno hanya melirik padaku dengan wajah tegang sementara aku berkacak pinggang meminta penjelasan bagus darinya agar aku tidak menghajarnya atas informasi yang baru kuketahui itu.
Sir Kristoff lalu tertawa terbahak-bahak sambil melirikku. “Ahh!! Ternyata dia kalem sekali karena ada pawangnya di sini!!”
Apa? Pawang? Enak saja…!
Tapi…mungkin dia benar.
hmm, gak masukin ke kemudian.com juga sekalian?
ReplyDeleteoya sekalian u bisa bikin dan kirim ilustrasinya ke kastilfantasi.com (e-mail mereka). gak pengaruh ke nilai sih, tapi coba aja. cerita u fun, kok. kalo u gak kirim ke fantasy fiesta gue pasti masukkan ke kompilasi cerpen yg lagi gue susun ini - jadi yg nulis bisa banyak.
ReplyDelete@vadis
ReplyDeletewalah ... gw belum bikin ilustrasinya.
yang di kekom itu gambar Berserk, sumber inspirasinya hehe...
thx 4 read :)
halah ... kok kekom ... wattpad.
ReplyDeletega kumasukin kekom ... hehe
hehe... ceritanya lucu. Tapi masih bisa dipadatkan lagi nih. Semangat ya!
ReplyDelete