Sejak memutuskan untuk serius menulis novel dan menetapkan bahwa saya harus berhasil di bidang ini, saya mulai menulis sebuah naskah dan menunjukkannya kepada sekelompok orang untuk mengira-ngira, seperti apa kira-kira tanggapan mereka terhadap karya saya. Ternyata tidak ada satupun orang yang menyebutnya bagus, menyanjungnya, terkesan dengan karakternya, atau menghargai ceritanya. Paling hanya beberapa orang baik yang rela membaca ceritanya hingga selesai dan memberikan feedback seikhlasnya.
Awalnya saya tidak mengerti, saya yakin sekali bahwa cerita buatan saya layak terbit dan tidak jelek. Tapi kenapa tidak ada apresiasi seperti yang saya harapkan? Bahkan beberapa proof-reader harus kabur dari saya karena mungkin takut ditagih sementara mereka belum selesai baca. Kemudian saya mulai melakukan pendekatan-pendekatan dengan tujuan untuk mengetahui sebenarnya karya seperti apa sih yang diterima?
Setelah mengalami beberapa proses pengenalan dan penyelidikan, akhirnya saya menemukan kenapa karya saya itu tidak terlalu diminati.
1. tulisan saya kurang "nyastra"
2. karakter-karakternya amburadul
3. banyak plothole fatal
Dan semua itu terjadi karena memang saya masih benar-benar newbie. Newbie yang sangat ambisius dan tidak sabaran. Saya tidak sadar bahwa untuk bisa menulis dengan baik, kita harus menulis seperti novelis, harus memahami psikologi dan harus tahu bagaimana cara berfilsafat.
Suatu hari ayah saya datang dan berbicara pada saya, ia ingin saya kuliah lagi untuk memperoleh gelar, ia rela keluar uang agar saya bisa terjamin masa depannya. Mengingat di Indonesia, orang yang bergelar pun sulit mendapat pekerjaan, maka saya mau tidak mau harus mengikuti arus.
Saya tetap pada keputusan saya untuk menjadi seorang penulis fantasi. Karena sedari kecil hingga sekarang, yang saya lakukan tidak lain adalah berkhayal, bermain game, berpikir abstrak, bertindak abstrak ... bahkan keluarga saya pun bingung pada saya karenanya.
Setelah menganalisa dari karya-karya fantasi dunia yang sukses, termasuk diantaranya Arthurian Legend, Sam Kok, William Shakespeare, dll, saya mendapati bahwa ternyata kuliah yang paling tepat bagi penulis fantasi barangkali bukanlah jurusan sastra.
Dalam kisah Fantasi, kita dituntut untuk sedapat mungkin bisa menciptakan konsep sendiri. Antara lain :
1. konsep dunia
2. konsep metafisika
3. konsep penciptaan
dan memiliki pengetahuan yang cukup mengenai :
1. kepribadian manusia, apa yang akan dilakukan seseorang bila ...
2. dampak revolusi
3. kenapa bisa terjadi tirani dan pemberontakan?
4. logika
5. etimologi
Maka dari itu, menurut saya seorang penulis fantasi hendaknya mengetahui banyak soal Kosmologi, metafisika, mitologi, psikologi, sosiologi, logika dan mengolah analisa dari sebab akibat yang berhubungan dengan peristiwa nyata, yakni sejarah.
Semua ilmu yang dibutuhkan bagi seorang penulis fantasi, ada di dalam kuliah Filsafat.
Bila kau yang membaca notes ini, hendak serius ingin menjadi penulis fantasi, saranku, ambillah jurusan filsafat.
Barangkali JK. Rowling dan JRR Tolkien tidak mempelajari filsafat secara khusus. Dan beberapa orang mungkin berpendapat bahwa mengambil kuliah filsafat hanya untuk menulis itu sangat ribet dan berlebihan. Tapi saya sendiri sejak masuk kuliah, merasa malu pada karya-karya saya yang dahulu, menyadari bahwa ternyata secara ilmu kosmologi dan lain-lain, karya saya itu sangat ngawur! Jurusan filsafat bisa mengarahkan seorang calon penulis fantasi untuk mempelajari proses penciptaan yang umum digunakan penulis zaman purbakala dalam menciptakan mitos.
Lagipula hidup ini sebenarnya penuh dengan filosofi. Bahkan seorang tak berpendidikan hingga penjahat pun bisa berfilosofi. Maka dari itu, bila kau menciptakan sebuah karya tanpa filosofi yang kuat, karya itu sudah pasti tidak akan bertahan lama. Kalaupun bisa dikenang, barangkali dia hanya eksis sebagai karya pop, ringan, bahkan mungkin tak jarang orang menyebutnya "karya dangkal".